30/01/2014
The Fed telah memutuskan pemotongan stimulus lanjutan sebesar 10miliar USD lagi (tapering). Langkah yang sudah ditebak oleh publik ini ditanggapi beragam dalam perdagangan mata uang major. Secara umum, USD mencatat penguatan dan pelemahan yang tak cukup besar diantara mata uang major.Yang prestasinya melebihi ekspektasi adalah Yen yang ternyata justru menguat seiring dengan meningkatnya minat investor pada mata uang safe haven tersebut ditengah ketidakpastian pasar negara berkembang. Sebaliknya, mata uang negara berkembang pontang-panting. Sampai kapan tren ini akan berlanjut?
Efek Tapering The Fed Babak Dua
Dampak tapering terhadap forex major kali ini teredam oleh ekspektasi pasar yang sudah cukup tinggi dan kepanikan investor negara berkembang. Pengumuman tapering I bulan Desember lalu dan berbagai statemen dari pejabat The Fed menjadikan tapering kali ini bukan lagi kejutan bagi pasar, melainkan hanya seperti kelanjutan cerita bersambung saja.
EUR/USD disebutkan sempat melemah 0,10%, tetapi kelihatannya pair ini masih enggan meninggalkan level tinggi yang dicapai pasca PMI. GBP/USD juga melemah tipis 0,10%, tetapi nampaknya masih cenderung sideways. AUD/USD merupakan salah satu pair major yang mengalami pelemahan cukup tinggi, 0,46%. Tapi ini masih senada dengan trend Aussie yang memang terus mengalami reli bearish terhadap USD sejak akhir tahun lalu.
Perubahan-perubahan besar mungkin akan terjadi awal minggu depan terhadap pair-pair tersebut. Tanggal 3 Februari, data PMI Manufaktur Eropa dan Ketenagakerjaan AS (ADP Nonfarm Unemployment) akan menentukan arah pergerakan EUR/USD. Keputusan suku bunga oleh Bank Sentral Australia tanggal 4 Februari bisa menjadi titik krusial perdagangan AUD/USD. Sedangkan tanggal 5 Februari bertaburan dengan rilis PMI dari Cina, Inggris, dan AS, serta ADP Nonfarm Employment Change Amerika Serikat.
Perdagangan Yen, di sisi lain, telah mengalami perubahan yang cukup drastis sebagai efek samping dari kepanikan investor di negara berkembang. Yen tercatat menguat 0,80% terhadap USD ketika rekan-rekannya melemah. Inilah keunikan pergerakan Yen sebagai mata uang safe haven. Investor-investor yang melarikan dananya dari negara berkembang segera melihat Jepang sebagai lokasi penanaman modal alternatif berprospek bagus, dan ini mengakibatkan JPY menguat. Namun, untuk mengetahui hingga berapa lama ini berlangsung, kita masih perlu meninjau data CPI Jepang yang akan dirilis besok.
Grafik USD/JPY tanggal 29-30 Januari 2014 pada timeframe M15
Pelarian Modal Dari Negara Berkembang
Imbas negatif tapering paling dirasakan oleh negara berkembang. Di Indonesia, Rupiah memang sementara ini cenderung menguat. Tetapi, tindakan nekad Bank Sentral Turki menaikkan tingkat suku bunga acuan dari 7,75% ke 12% gagal menopang Lira. Hal yang sama juga terjadi di Afrika Selatan; walau bank sentral menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin (5% ke 5,5%), tetapi Rand jatuh ke level terendah terhadap USD sejak Oktober 2008. Keputusan senada juga diambil oleh Argentina dan India tanpa manfaat berarti. Langkah menaikkan suku bunga, umumnya berdampak positif terhadap nilai tukar suatu mata uang; kenapa kali ini seakan tidak mempan?
Untuk memahaminya, kita perlu mundur sedikit ke belakang. Pemberian stimulus yang dikenal sebagaiQuantitative Easing (QE) telah dilakukan sejak 2008 oleh Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed), dengan QE3 diumumkan pada September 2013. Dengan pembelian obligasi masif, The Fed secara tidak langsung menyuntikkan dana dalam jumlah luar biasa besar secara berkala ke perekonomian Dunia. Maksudnya memang hanya membantu pemulihan ekonomi Amerika, tetapi langkah itu mengakibatkan surplus dana di sistem finansial. Surplus tersebut, ditambah sentimen negatif terhadap perekonomian AS yang waktu itu dipandang kurang baik, membuat investor mengungsikan dana-dananya ke safe haven seperti emas dan negara-negara berkembang yang dianggap sedang mengalami pertumbuhan pesat.
Kini, seiring dengan meluasnya opini bahwa perekonomian AS telah pulih, the Fed memotong besaran dana yang mereka keluarkan setiap bulan secara bertahap. Di satu sisi, surplus dana di pasar finansial terhenti. Di sisi lain, investor mulai mudik ke negara-negara maju dengan ekspektasi iklim investasi lebih baik pasca pulihnya perekonomian. Negara-negara berkembang pun mulai rebutan investasi asing.
Kondisi ini diperparah oleh prospek investasi di wilayah-wilayah tersebut yang kian suram dengan meningkatnya ketidakstabilan ekonomi-politik. Peso terdevaluasi secara efektif gara-gara tekanan masalah ekonomi dan inflasi tinggi di Argentina. Wilayah-wilayah lain pun tak kalah kacau, kerusuhan politik di Thailand, gonjang-ganjing skandal korupsi di Turki, dan seterusnya. Ditambah lagi, ekspektasi pelambatan pertumbuhan Cina sudah pasti berpengaruh pada prospek pertumbuhan negara berkembang, mengingat besarnya investasi Cina di negara-negara ini.
Upaya bank sentral untuk meningkatkan suku bunga, di satu sisi memang diharapkan bisa menopang nilai tukar mata uang mereka. Tetapi, akibatnya terhadap perekonomian dalam negri kurang baik. Kenaikan suku bunga acuan pasti akan diikuti oleh kenaikan suku bunga kredit, termasuk suku bunga kredit usaha yang menjadi andalan bagi sebagian besar usahawan di negara berkembang dalam operasional bisnisnya. Kenaikan bunga kredit akan berdampak pada naiknya biaya produksi, dan akhirnya bisa berpengaruh negatif terhadap produksi nasional. Ini salah satu alasan kenapa bank sentral Jepang dan Eropa mempertahankan suku bunga super rendah. Jadi, sebenarnya tak terlalu mengejutkan kalau kenaikan massal suku bunga acuan Turki, India, Afrika Selatan, dan Argentina, tidak membuat investor bergeming. Dalam situasi seperti ini, kebijakan Bank Indonesia yang mempertahankan suku bunga 7,50% mungkin memang lebih baik.
Efek Tapering The Fed Babak Dua
Dampak tapering terhadap forex major kali ini teredam oleh ekspektasi pasar yang sudah cukup tinggi dan kepanikan investor negara berkembang. Pengumuman tapering I bulan Desember lalu dan berbagai statemen dari pejabat The Fed menjadikan tapering kali ini bukan lagi kejutan bagi pasar, melainkan hanya seperti kelanjutan cerita bersambung saja.
EUR/USD disebutkan sempat melemah 0,10%, tetapi kelihatannya pair ini masih enggan meninggalkan level tinggi yang dicapai pasca PMI. GBP/USD juga melemah tipis 0,10%, tetapi nampaknya masih cenderung sideways. AUD/USD merupakan salah satu pair major yang mengalami pelemahan cukup tinggi, 0,46%. Tapi ini masih senada dengan trend Aussie yang memang terus mengalami reli bearish terhadap USD sejak akhir tahun lalu.
Perubahan-perubahan besar mungkin akan terjadi awal minggu depan terhadap pair-pair tersebut. Tanggal 3 Februari, data PMI Manufaktur Eropa dan Ketenagakerjaan AS (ADP Nonfarm Unemployment) akan menentukan arah pergerakan EUR/USD. Keputusan suku bunga oleh Bank Sentral Australia tanggal 4 Februari bisa menjadi titik krusial perdagangan AUD/USD. Sedangkan tanggal 5 Februari bertaburan dengan rilis PMI dari Cina, Inggris, dan AS, serta ADP Nonfarm Employment Change Amerika Serikat.
Perdagangan Yen, di sisi lain, telah mengalami perubahan yang cukup drastis sebagai efek samping dari kepanikan investor di negara berkembang. Yen tercatat menguat 0,80% terhadap USD ketika rekan-rekannya melemah. Inilah keunikan pergerakan Yen sebagai mata uang safe haven. Investor-investor yang melarikan dananya dari negara berkembang segera melihat Jepang sebagai lokasi penanaman modal alternatif berprospek bagus, dan ini mengakibatkan JPY menguat. Namun, untuk mengetahui hingga berapa lama ini berlangsung, kita masih perlu meninjau data CPI Jepang yang akan dirilis besok.
Grafik USD/JPY tanggal 29-30 Januari 2014 pada timeframe M15
Pelarian Modal Dari Negara Berkembang
Imbas negatif tapering paling dirasakan oleh negara berkembang. Di Indonesia, Rupiah memang sementara ini cenderung menguat. Tetapi, tindakan nekad Bank Sentral Turki menaikkan tingkat suku bunga acuan dari 7,75% ke 12% gagal menopang Lira. Hal yang sama juga terjadi di Afrika Selatan; walau bank sentral menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin (5% ke 5,5%), tetapi Rand jatuh ke level terendah terhadap USD sejak Oktober 2008. Keputusan senada juga diambil oleh Argentina dan India tanpa manfaat berarti. Langkah menaikkan suku bunga, umumnya berdampak positif terhadap nilai tukar suatu mata uang; kenapa kali ini seakan tidak mempan?
Untuk memahaminya, kita perlu mundur sedikit ke belakang. Pemberian stimulus yang dikenal sebagaiQuantitative Easing (QE) telah dilakukan sejak 2008 oleh Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed), dengan QE3 diumumkan pada September 2013. Dengan pembelian obligasi masif, The Fed secara tidak langsung menyuntikkan dana dalam jumlah luar biasa besar secara berkala ke perekonomian Dunia. Maksudnya memang hanya membantu pemulihan ekonomi Amerika, tetapi langkah itu mengakibatkan surplus dana di sistem finansial. Surplus tersebut, ditambah sentimen negatif terhadap perekonomian AS yang waktu itu dipandang kurang baik, membuat investor mengungsikan dana-dananya ke safe haven seperti emas dan negara-negara berkembang yang dianggap sedang mengalami pertumbuhan pesat.
Kini, seiring dengan meluasnya opini bahwa perekonomian AS telah pulih, the Fed memotong besaran dana yang mereka keluarkan setiap bulan secara bertahap. Di satu sisi, surplus dana di pasar finansial terhenti. Di sisi lain, investor mulai mudik ke negara-negara maju dengan ekspektasi iklim investasi lebih baik pasca pulihnya perekonomian. Negara-negara berkembang pun mulai rebutan investasi asing.
Kondisi ini diperparah oleh prospek investasi di wilayah-wilayah tersebut yang kian suram dengan meningkatnya ketidakstabilan ekonomi-politik. Peso terdevaluasi secara efektif gara-gara tekanan masalah ekonomi dan inflasi tinggi di Argentina. Wilayah-wilayah lain pun tak kalah kacau, kerusuhan politik di Thailand, gonjang-ganjing skandal korupsi di Turki, dan seterusnya. Ditambah lagi, ekspektasi pelambatan pertumbuhan Cina sudah pasti berpengaruh pada prospek pertumbuhan negara berkembang, mengingat besarnya investasi Cina di negara-negara ini.
Upaya bank sentral untuk meningkatkan suku bunga, di satu sisi memang diharapkan bisa menopang nilai tukar mata uang mereka. Tetapi, akibatnya terhadap perekonomian dalam negri kurang baik. Kenaikan suku bunga acuan pasti akan diikuti oleh kenaikan suku bunga kredit, termasuk suku bunga kredit usaha yang menjadi andalan bagi sebagian besar usahawan di negara berkembang dalam operasional bisnisnya. Kenaikan bunga kredit akan berdampak pada naiknya biaya produksi, dan akhirnya bisa berpengaruh negatif terhadap produksi nasional. Ini salah satu alasan kenapa bank sentral Jepang dan Eropa mempertahankan suku bunga super rendah. Jadi, sebenarnya tak terlalu mengejutkan kalau kenaikan massal suku bunga acuan Turki, India, Afrika Selatan, dan Argentina, tidak membuat investor bergeming. Dalam situasi seperti ini, kebijakan Bank Indonesia yang mempertahankan suku bunga 7,50% mungkin memang lebih baik.